Selasa, 26 Maret 2013

On My Mind


Hah, Sejak blog ini dibuat, belum pernah sekalipun nge-publish sejarah perjuangan (diri sendiri).
Okeiii,, perkenalkan saya Khairunnisa Idris. I’m a ordinary girl. Tidak ada yang istimewa dari diri saya.
Physicly , Alhamdulillah sempurna. Punya 2 mata untuk melihat keindahan, 1 mulut, 2 lubang hidung, 2 telinga untuk mendengar, 2 tangan dengan jari masing-masing 5, punya 2 kaki untuk berpijak dan menapak Nikmat Allah dan masih banyak kesempurnaan yang Allah berikan kepada saya.
Saya adalah perempuan yang suka olahraga tenis meja. Yaaa walaupun ga expert, But Not Bad lah :D
Masak? Alhamdulillah baru bisa masak air, nasi, telur, mie instan, nasi goreng, sandwich, sayur bening, sop, semur, sambel, tumis menumis, pasta, dan gorengan. Just that.. Hahahaha :D malu-maluin yah?
Saya manusia yang sangat sangat biasa, berasal dari keluarga sederhana yang sangat menyayangi saya. Sejak lahir tinggal di Pulau Sumatera, tapi Ayah dan Ibu saya asli keturunan Jawa. Dari TK saya mengenyam pendidikan di Sumatera Utara. Tak pernah sekalipun menghirup udara pulau Jawa. Namun suatu ketika, Nasib mengharuskan saya untuk berlayar ke Pulau Sejuta keanekaragaman ini. Bersyukur sekali memiliki orang tua yang tidak membatasi keinginan anaknya. Ayah yang sangat demokratis masalah pendidikan, memberikan saya kesempatan untuk belajar banyak ditempat lain. Tempat yang jaraknya bermil-mil dari rumah. Sedangkan Ibu adalah malaikat terbaik yang dikirimkan Tuhan ditengah-tengah keluarga sederhana kami, Ibu yang selalu mendukung dan memberikan kehangatan disaat perdebatan hati untuk memutuskan sesuatu mulai membeku. Harus bertahan hidup di tempat yang jauh berbeda dengan daerah kelahiranku. Tempat yang terkenal dengan keindahan alamnya, orang-orang yang sedap dipandang mata, tata kota yang tak pernah ku temui di daerahku, kemacetan yang tak pernah terjadi sekalipun di daerahku, dan banyak hal-hal baru yang ku temui di “tempat asing” ini. Bandung, kota yang terkenal dengan julukan kota kembang ketika aku pelajari di bangku SD. Tapi saat tiba di kota ini, belum pernah ku temui tempat yang benar-benar menunjukkan ke-kota-kembang-an-nya seperti yang ada dalam imajinasiku dulu. Hahaha..
M
erasakan beratnya tahun pertama hidup jauh dari orang tua. Kebiasaan pamit sebelum bepergian keluar rumah kepada orangtua harus ku hilangkan disini. Tak ada orangtua, tak ada makanan yang selalu tersedia saat mau makan, tak ada kendaraan pribadi, tak ada mesin cuci, tak ada keramaian rumahku, yang jelas tak ada kehangatan seperti yang kurasakan dirumah. Semua aku kerjakan sendiri. Mau pergi, ya pergi saja. Siapa yang peduli. Tetangga satu kosanku yang jarang ada membuat ku benar-benar menjalani semuanya sendiri. Mau pergi kesana kemari, tak ada sepeda motor yang biasanya bisa langsung ku kendarai disini. Disini aku harus sabar menunggu angkutan kota melintas untuk membawa ku menikmati luasnya kota kembang ini.
Dari setengah perjalanan berlayar yang masih ku lalui ke seberang pulau, sudah sangat banyak nilai-nilai kehidupan yang tak mungkin kudapatkan jika aku hanya terus berdiam diri di kampungku. Rasanya semua kesulitan menjalani hari disini hilang. Ya, itu karena experience dan hal-hal positip lain yang kudapatkan disini telah mengalahkan kesulitan-kesulitan yang menghalangiku mengeksplor banyak hal disini.
Horizontal Scroll: Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampong halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang (Imam Syafi’i) 




Didalam Novel Negeri 5 Menara yang kubaca beberapa tahun silam, tertulis:
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diamnya yang tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak ia akan keruh dan menggenang
Singa jika tak meninggalkan sarangnya tak akan  mendapat mangsa
Anak panah jika tidak dilepaskan dari busurnya tak akan kena sasarannya
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandangnya
Biji emas bagaikan tanah biasa tak berguna sebelum digali dari tambangnya
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika ia masih dalam hutan tak diolah
(Imam Syafi’i)
Dari kalimat tersebut, bisa saya simpulkan bahwa Manusia memang harus terus bergerak untuk tetap bertahan hidup. Di dalam Al-Qur’an jelas Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka” QS.13:11. Hmm.. kurang apa lagi coba? Itu Allah langsung loh yang bilang. Didukung pula dari teori seorang ilmuwan, “Seperti sepeda, agar tetap seimbang ia harus terus bergerak” –Einstein-- Dan jangan pernah khawatirkan masalah rezeki, karena Sesungguhnya Allah membuka banyak pintu rezeki, dan Dia akan memberi dari tempat yang tidak disangka-sangka.
Perjalanan berlayarku masih panjang, ya masih sangat panjang.. destinasi pun belum terlihat, tapi aku yakin bahwa layarku yang berkembang sekarang sedang mengarah pada destinasi yang benar. Navigasi sekarang sedang bekerja. Hanya jalur yang aku lalui mungkin tak semudah dari yang lain. Badai yang sering terjadi mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup ditengah keterbatasan yang ada.
And last, Inti dari pelayaran ini selalu menjadi alarm untuk terus dan terus selalu Bersyukur… J

Senin, 18 Maret 2013

(other) Papandayan Mount Part I

Papandayan..
Gunung Pertama yang ku daki. 
Bersama dengan 17 "Keluarga Baruku", kakak-kakak PAS ITB.
Baru 1,5 Tahun ini aku mengenal "mereka". Tapi terasa seperti sudah bertahun-tahun lamanya.
Wajah-wajah yang tak lagi asing bagiku, diantaranya Kak Rifqy, Kak Nurmansyah, Kak Ayam, Kak Aufa, Kak Sandy, Kak Rendy, Kak Bubu (bukan pacar Syahrini), Kak Silmi, Kak Zahroh, Kak Oom, Kak Adel, Kak Yana, Kak Ipeh, Kak Fahmi (kakak putri bobotoh), Kak Risha, Kak Asty, Kak Mila (Neng Mila, Mojang Purwakarta) menemani perjalanan malam itu menuju Garut, Jawa Barat.
Aku menikmati perjalanan setiap tapaknya.
Sepanjang perjalanan kami ditemani keindahan gunung Cikuray yang sangat jelas tampak. 
Keindahan yang tak akan ku dapatkan di tengah kota.
Perjalanan alam selalu mengingatkanku pada Ayah.
Sesosok ciptaan Tuhan yang selalu mengajarkan kami bagaimana kehidupan itu.
Ayah selalu mengajak kami pergi berladang.
Melewati jalan yang tak mulus, mengajarkan bahwa hidup ini memang tidaklah mudah.
Berusaha untuk tetap seimbang diatas motor, menjelaskan tentang menjaga keseimbangan bertahan hidup.
Belajar memilah milih jalan yang harus dilalui, menegaskan agar tidak salah dalam mengambil keputusan hidup.
Dan semua itu ada konsekuensinya.
Berhitung , Estimasi, bahkan Logika pun bisa kami dapat dari perjalanan di Alam. 
ya,, Ayah yang mengajarkanku mengenal hutan, pepohonan, berladang, berkebun, memupuk, menunas, membuat tapak kuda, mengangkat hasil kebun dengan menggunakan angkong hingga menimbang hasil kebun yang tak ringan.
Ayah mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan.
Darinya juga aku tahu bahwa sesungguhnya kehidupan itu butuh Perencanaan dan Anggaran.
Tanpa kusadari, ternyata sudah sejak kecil, Ayah menanamkan banyak nilai-nilai kehidupan kepada kami.
Seolah-olah , Ayah memang sudah merencanakan apa-apa yang akan dia berikan untuk persiapan kami menjalani hidup.
Dari sulitnya kerja di ladang, tetapi sifat kekanak-kanakan masih tetap ada jika bersama Ayah.
Capek, Susah, Berkeluh kesah, Curhat, bahkan istirahat yang paling nikmat ya sambil menikmati perjalanan Alam.
Tak banyak yang bisa aku lakukan dari beratnya pekerjaan Ayah.
Aku ingat, sepanjang perjalanan, Ayah selalu bercerita bagaimana sulitnya dulu menuju kebun ini yang sekarang menjadi sumber kehidupan kami. Tapi Ayah bukanlah sosok yang mudah menyerah.
Hujan deras, jalanan licin, suara binatang hutan, dan jatuh dari motor bukanlah hal yang baru buat Ayah sekarang.
Bahkan suatu ketika Ayah pernah jatuh ke dalam jurang bersama motornya.
Dengan membawa perbekalan yang cukup berat untuk pekerja di ladang, Ayah berusaha bangkit dan keluar dari Jurang.
Beberapa saat setelah kejadian itu, ayah langsung memberi kabar kepada kami anak-anaknya satu per satu melalui via telpon bahwa dirinya selamat setelah mengalami kejadian itu. Alhamdulillah..
Bukan tidak besar rasa khawatir ku pada saat itu.
Setiap kali mengingat kejadian itu, aku merasa Allah sangat sayang kepada kami.
Dia selalu menjaga walaupun kita tak menjagaNya.
Memang Ayah tak pernah lupa membaca surat Al-Ikhlas sebagai doa tambahan yang biasa aku sebut "additional pray" setiap akan memulai perjalannya.
"melalui Do'a , Allah melindungi kita. Insya Allah. Jadi jangan lupa berdoa" ujar Ayah pada suatu perjalanan.
Ayah bukanlah seorang profesor atau lulusan pendidikan agama yang tinggi.
Tapi Ayah senantiasa mengajarkan yang menurutku amalan-amalan sederhana kepada kami.

Balik lagi ke Gunung Papandayan yang Subhanallah..
Malam itu, aku bersama "keluarga baruku" memulai perjalanan menuju Garut dengan menggunakan ELF. Semacam Mobil Karya Agung di Sumatera Utara. Bedanya, ELF ini sangat sadar keselamatan penumpangnya. jalannya tak se-ugal-ugal-an "Mobil Setan"*(red: sebutan ibuku) dan teman-temannya saat melintasi jalan depan rumah kami.
Tiba pukul 22.15 , ELF harus berhenti sampai disini. Ditempat pangkalan mobil "kol buntung" atau yang biasa ku sebut dengan mobil pick up. Dua mobil bak terbuka ini membawa kami menikmati dinginnya udara malam pegunungan Papandayan. Disambut sapa dari warga sekitar yang sepertinya baru pulang pengajian.
Jalanan tak segemerlap lampu kehidupan kota. Diterangi cahaya malam seadanya, perjalanan menuju Pos 1 sangat  Luar Biasa. Jalan berlubang, penuh goncangan, aku anggap sebagai latihan untukku menghadapi tanjakan Gunung Papandayan nantinya. Bau belerang yang menyengat merupakan "welcome smell" dari Alam. Sesampainya di Pos 1, menurutku itu tepat di kaki Gunung Papandayan. Udara semakin menusuk tulang. Kakak Putri masuk kedalam Saung yang tersedia. Selesai Sholat Isya berjamaah, Matras di buka diatas ranjang bambu dalam saung yang disediakan. Sedangkan kakak putra tidur diluar ditemani keindahan langit dan minuman hangat yang mereka buat seadanya. Masing-masing dari kami membuka sleeping bag untuk menghangatkan tidur malam itu hingga subuh membangunkan kami...