Senin, 18 Maret 2013

(other) Papandayan Mount Part I

Papandayan..
Gunung Pertama yang ku daki. 
Bersama dengan 17 "Keluarga Baruku", kakak-kakak PAS ITB.
Baru 1,5 Tahun ini aku mengenal "mereka". Tapi terasa seperti sudah bertahun-tahun lamanya.
Wajah-wajah yang tak lagi asing bagiku, diantaranya Kak Rifqy, Kak Nurmansyah, Kak Ayam, Kak Aufa, Kak Sandy, Kak Rendy, Kak Bubu (bukan pacar Syahrini), Kak Silmi, Kak Zahroh, Kak Oom, Kak Adel, Kak Yana, Kak Ipeh, Kak Fahmi (kakak putri bobotoh), Kak Risha, Kak Asty, Kak Mila (Neng Mila, Mojang Purwakarta) menemani perjalanan malam itu menuju Garut, Jawa Barat.
Aku menikmati perjalanan setiap tapaknya.
Sepanjang perjalanan kami ditemani keindahan gunung Cikuray yang sangat jelas tampak. 
Keindahan yang tak akan ku dapatkan di tengah kota.
Perjalanan alam selalu mengingatkanku pada Ayah.
Sesosok ciptaan Tuhan yang selalu mengajarkan kami bagaimana kehidupan itu.
Ayah selalu mengajak kami pergi berladang.
Melewati jalan yang tak mulus, mengajarkan bahwa hidup ini memang tidaklah mudah.
Berusaha untuk tetap seimbang diatas motor, menjelaskan tentang menjaga keseimbangan bertahan hidup.
Belajar memilah milih jalan yang harus dilalui, menegaskan agar tidak salah dalam mengambil keputusan hidup.
Dan semua itu ada konsekuensinya.
Berhitung , Estimasi, bahkan Logika pun bisa kami dapat dari perjalanan di Alam. 
ya,, Ayah yang mengajarkanku mengenal hutan, pepohonan, berladang, berkebun, memupuk, menunas, membuat tapak kuda, mengangkat hasil kebun dengan menggunakan angkong hingga menimbang hasil kebun yang tak ringan.
Ayah mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan.
Darinya juga aku tahu bahwa sesungguhnya kehidupan itu butuh Perencanaan dan Anggaran.
Tanpa kusadari, ternyata sudah sejak kecil, Ayah menanamkan banyak nilai-nilai kehidupan kepada kami.
Seolah-olah , Ayah memang sudah merencanakan apa-apa yang akan dia berikan untuk persiapan kami menjalani hidup.
Dari sulitnya kerja di ladang, tetapi sifat kekanak-kanakan masih tetap ada jika bersama Ayah.
Capek, Susah, Berkeluh kesah, Curhat, bahkan istirahat yang paling nikmat ya sambil menikmati perjalanan Alam.
Tak banyak yang bisa aku lakukan dari beratnya pekerjaan Ayah.
Aku ingat, sepanjang perjalanan, Ayah selalu bercerita bagaimana sulitnya dulu menuju kebun ini yang sekarang menjadi sumber kehidupan kami. Tapi Ayah bukanlah sosok yang mudah menyerah.
Hujan deras, jalanan licin, suara binatang hutan, dan jatuh dari motor bukanlah hal yang baru buat Ayah sekarang.
Bahkan suatu ketika Ayah pernah jatuh ke dalam jurang bersama motornya.
Dengan membawa perbekalan yang cukup berat untuk pekerja di ladang, Ayah berusaha bangkit dan keluar dari Jurang.
Beberapa saat setelah kejadian itu, ayah langsung memberi kabar kepada kami anak-anaknya satu per satu melalui via telpon bahwa dirinya selamat setelah mengalami kejadian itu. Alhamdulillah..
Bukan tidak besar rasa khawatir ku pada saat itu.
Setiap kali mengingat kejadian itu, aku merasa Allah sangat sayang kepada kami.
Dia selalu menjaga walaupun kita tak menjagaNya.
Memang Ayah tak pernah lupa membaca surat Al-Ikhlas sebagai doa tambahan yang biasa aku sebut "additional pray" setiap akan memulai perjalannya.
"melalui Do'a , Allah melindungi kita. Insya Allah. Jadi jangan lupa berdoa" ujar Ayah pada suatu perjalanan.
Ayah bukanlah seorang profesor atau lulusan pendidikan agama yang tinggi.
Tapi Ayah senantiasa mengajarkan yang menurutku amalan-amalan sederhana kepada kami.

Balik lagi ke Gunung Papandayan yang Subhanallah..
Malam itu, aku bersama "keluarga baruku" memulai perjalanan menuju Garut dengan menggunakan ELF. Semacam Mobil Karya Agung di Sumatera Utara. Bedanya, ELF ini sangat sadar keselamatan penumpangnya. jalannya tak se-ugal-ugal-an "Mobil Setan"*(red: sebutan ibuku) dan teman-temannya saat melintasi jalan depan rumah kami.
Tiba pukul 22.15 , ELF harus berhenti sampai disini. Ditempat pangkalan mobil "kol buntung" atau yang biasa ku sebut dengan mobil pick up. Dua mobil bak terbuka ini membawa kami menikmati dinginnya udara malam pegunungan Papandayan. Disambut sapa dari warga sekitar yang sepertinya baru pulang pengajian.
Jalanan tak segemerlap lampu kehidupan kota. Diterangi cahaya malam seadanya, perjalanan menuju Pos 1 sangat  Luar Biasa. Jalan berlubang, penuh goncangan, aku anggap sebagai latihan untukku menghadapi tanjakan Gunung Papandayan nantinya. Bau belerang yang menyengat merupakan "welcome smell" dari Alam. Sesampainya di Pos 1, menurutku itu tepat di kaki Gunung Papandayan. Udara semakin menusuk tulang. Kakak Putri masuk kedalam Saung yang tersedia. Selesai Sholat Isya berjamaah, Matras di buka diatas ranjang bambu dalam saung yang disediakan. Sedangkan kakak putra tidur diluar ditemani keindahan langit dan minuman hangat yang mereka buat seadanya. Masing-masing dari kami membuka sleeping bag untuk menghangatkan tidur malam itu hingga subuh membangunkan kami...

0 komentar:

Posting Komentar